WHAT IS SCHOOL FOR

Hmm..pertanyaan itu benar-benar menggelitik saya.

Orangtua jaman sekarang ramai-ramai menyerbu berbagai sekolah yang menghadirkan berbagai “TAG LINE” selayaknya iklan produk susu atau produk lainnya yang biasa didapatkan dari supermarket.

Ada ‘bilingual’, ada ‘nasional plus’, ada ‘sekolah ‘unggulan’, ada juga yang gunakan pendekatan ‘humaniora’, ada lagi yang menggunakan program-program luar negeri.

Ibarat restaurant disepanjang jalan Kemang Raya, sekolah-sekolah ini pun seperti menjadi ‘trend’ yang akhirnya kadang penuh murid…kadang kurang murid.

Salahkah sekolah menjual “tag Line” juga?

Ah, bagi saya yang memang biasa menghitung segala hal yang berkaitan dengan anggaran, saya kira tidak ada salahnya! Dulu sekolah didatangi calon murid. Kini...sekolah harus berlomba mencari murid. Itu kan salah satu konsekuensi tentang kesadaran dan kejelian masyarakat bahwasanya sekolah adalah salah satu pilihan usaha.

Ada konsekuensi anggaran, adapula konsekuensi target pendapatan.

As simple as that!

Lalu sekarang, dimana letak komitmen para pendidik atas visi misi nya masing-masing?

Kemana sebenarnya anak-anak Indonesia ini akan dibawa?

Menarik sekali saat disebuah seminar, pakar pendidikan Indonesia Prof Dr Arief Rahman Images mengatakan bahwa ’tanpa sadar, anak-anak kita ini sudah dijadikan komoditi ekonomi’ .

Hmm....terdiam juga saya mendengarnya.

Kata Arief Rahman lagi, ’lhaa bagaimana tidak menjadi sekolah unggulan, wong bibit unggul yang disaring disekolah itu saja sudah orang pintar-pintar...! Lalu dimana anak2 kita yang biasa-biasa saja akan mendapat kesempatan pendidikan yang baik?’ begitu katanya.

Saya jadi berfikir...

Lalu saya segera menyempatkan bertemu dengan Kepala Sekolah dan wakil kepala sekolah kurikulum yang menjadi kolega saya. Saya segera cari tau, bagaimana sekolah saya (’maaf saya istilahkan seperti ini supaya mudah’) menyaring siswa-siswanya. Ternyata dari hasil test masuk memang sangat beragam.

Apakah saya menjadi gundah dengan hal itu? Justru tidak. Saya malah lega, karena apa yang dipaparkan oleh Bapak Arief Rahman malah memperkuat idealisme saya bahwa setiap individu anak memiliki kesempatan sama untuk memperbaiki diri.

Seperti apa yang pernah saya tulis di artikel sebelumnya, anak bodoh, anak manja, anak pintar, anak nakal...itu kan hanya label dari kita saja. Sebenarnya...mereka adalah anak-anak yang memiliki HAK yang sama dalam kehidupan dan dalam proses pembelajaran.

Saya katakan pada kolega-kolega saya di sekolah, bahwa keragaman kompetensi calon siswa adalah tantangan bagi kita semua. Apabila kita sudah mengetahui peta kompetensi mereka dalam tingkat pemahaman bidang studi dan prilaku; adalah kita sebagai pendidik yang memiliki tantangan bahwasanya setiap individu dapat meningkatkan kompetensinya. Kalau memang si BADU kompetensi awalnya hanya rata-rata 6, bagaimana para pendidik dapat membimbingnya hingga ia memiliki percaya diri hingga mencapai tingkat kemampuan diatas itu. Apabila Badu mendapat nilai 6,5 sekalipun...itu sudah peningkatan! Kita harus hargai Badu!

Kadang saya ini pusing juga hadapi berbagai pendapat orang tua dan guru tentang kompetensi putra putrinya yang dianggap rendah. Nah...bagaimana mau lebih tinggi, kalau pola pembelajaran diantara kita saja sifatnya masih doktrinasi? Harus ini harus itu tidak boleh ini tidak boleh itu!!! Kasihan yaa anak sekarang!

Kembali pada judul yang saya ambil untuk artikel ini ”WHAT IS SCHOOL FOR” : pada dasarnya..sekolah adalah ajang pengetahuan. Namun pengetahuan tidak pernah ada batasnya. Kalau dikNas telah memberlakukan KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN, dimana disitu ada Kompetensi Dasar dan Indikator-indikatornya; hemat saya, itu hanyalah sebuah alat untuk mempermudah transfer ilmu pengetahuan. Tapi kembali kepada kompetensi anak, sekolah memiliki kewajiban untuk dapat memberikan pola terbaik sesuai dengan kemampuan masing-masing anak. Nahhh....bagaimana kalau sekolah kita muridnya diatas 25 anak? Guru banyak mengeluh? 
Ah, menurut saya itu kembali kepada nurani. Itu resiko kita sebagai pendidik. Apapun kondisi dilapangan, sekolah berkewajiban untuk menjadikan nilai kompetensi anak menjadi lebih baik. Rangking itu hanya untuk kepentingan pemetaan guru. Bukan untuk konsumsi anak. Setiap anak memiliki keunggulan masing-masing, bukan hanya anak yang bisa masuk SMA 8 JAKARTA dikatakan anak unggul. Siapapun mereka, hanya garis pengalamanlah yang akan menempa mereka menjadi manusia unggul yang sebenarnya.

Karena itu, tugas sekolah adalah membekali dasar-dasar kehidupan menjadi manusia unggul disuatu saat nanti. Sekolah unggulan itu tidak ada rumusnya. Kalau memang rumusnya hanya nilai diatas 8 untuk rata-rata muridnya, marilah kita buktikan 20-25 tahun mendatang!

May 17, 2007

NUNNY HERSIANNA BUDIALENGGANA

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

No comments:

Post a Comment

Thanks for your comment!