KALA ALLAH BERKEHENDAK


Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Delapan tahun yang lalu tanggal malam sebelum 14 September 2000, aku sudah berada di rumah sakit bersalin Budi Kemuliaan Jakarta Pusat menunggu pelaksanaan operasi ‘caesar’ di esok paginya.
Aku begitu excited menunggu kelahiran putra kelima setelah tujuh tahun sebelumnya aku terakhir melahirkan kakaknya.

Pagi hari seluruh keluarga berkumpul, itu kebiasaan di keluarga kami dalam memberi dukungan moril untuk hal-hal yang seperti ini. Semua tampak gembira berkelakar termasuk diriku.
Singkat kata, dikarenakan sistim anastesi lokal maka aku dapat mengikuti proses kelahiran bayiku.
Alhamdulillah bayi laki-laki yang baru saja lahir sempat kulihat, mirip ayahnya!
Namun setelah itu aku langsung tertidur kelelahan, juga akibat obat tidur yang disuntikkan agar aku cukup istirahat . Entah berapa lama aku tertidur, namun setelah terbangun dan dikunjungi suami dan keluarga, anakku yang terkecil (saat itu berusia 7 tahun) mengatakan : “ Mama…adik sedang dibawa ke Rumah Sakit Harapan Kita (RSHK), sebentar lagi datang.”

‘DUG!’ tiba-tiba rasa tidak nyaman menyerang dadaku. Suamiku sambil tetap tersenyum mengatakan bahwa bayiku perlu dibantu alat yang hanya ada di RS Pusat Cipto atau di RSHK, dan atas anjuran tim dokter suamiku memilih RSHK.
Baru di malam kedua akhirnya aku ditransfer ke RSHK agar dapat dekat dengan bayiku. Sementara itu suamiku selalu bolak balik ke dua rumah sakit. Walau penuh senyum, terlihat kelelahan pada sinar matanya.

Hingga aku pindah ke RSHK aku selalu riang penuh kebahagiaan menyambut tamu-tamu yang datang menjenguk. Kukatakan pada ke empat anakku untuk tidak membuka hadiah dari kerabatku sampai adik bayi mereka tiba dirumah.
Hari ketiga setelah kelahiran, barulah aku berkesempatan mengunjungi ruang perawatan bayi. Itupun dengan sebuah perasaan berbinar.
Begitu aku masuk ruang perawatan didampingi suami, aku terhenyak dan tak kuasa menahan airmata. Ternyata bayiku ditempatkan di ruang NICU (ICU khusus anak) dengan berbagai selang besar yang dihubungkan ke mulut dan via tali pusarnya. “Ya Allah…..ada apa dengan bayi mungilku!” .
Ternyata bayiku memiliki kesulitan bernafas hingga membiru saat dilahirkan sehingga harus dibantu dengan alat. Dokter anak saat itu menjelaskan segala konsekuensi yang dihadapi bayiku akibat antibiotik tingkat tinggi yang diberikan, dan morfin yang harus diberikan pada anak-anak yang menggunakan alat-alat seperti bayiku. “MASYA ALLAH!”.

Lima malam aku menginap di ruang paska perawatan untuk ibu, bayiku tidak kunjung ada perbaikan. Akhirnya atas saran manajemen rumah sakit, saya dan suami menyewa penginapan semacam hostel yang terletak di seberang gedung NICU.
Hari demi hari kami lewati dengan rutinitas yang hampir sama. Mengunjungi bayi, memberikan ASI ku via botol, dan menunggu suamiku bolak balik menebus obat hingga pergi ke PMI pusat untuk membeli darah donor. Yang lebih sedih….ternyata bayiku tidak mampu menerima makanan apapun dari luar termasuk ASI ku.
Ia terus diberikan gizi makanan via infus.

Adalagi hal berat yang harus kami lalui di minggu ke dua.
Ternyata bayiku tidak bisa menerima infus lagi sehingga harus menjalani operasi aorta besar diketiaknya agar infus dapat langsung dimasukkan melalui bagian itu.
Tidak kubayangkan bayi semungil itu harus disayat bagian ketiaknya untuk di cari aortanya dan dimasukkan infus.
Walau dalam suasana seperti ini, kami tetap melaksanakan akekah untuk Ken di sebuah masjid di bilangan Taman Kebon Sirih Jakarta Pusat dekat rumah nenekku. Tentunya tanpa Ken.

Oya, dirumah sakit kami juga berteman dengan beberapa orang tua yang mengalami hal yang hampir sama dengan kami. Rata-rata keluarga muda, mungkin kami termasuk yang senior dibanding mereka.
Salah satunya adalah pasangan Vicky & Ade dengan bayi mungilnya bernama HAVA yang kemudian di ubah menjadi SYIFA. Dua pasangan muda ini sangat menghibur kami dengan‘fighting spirit’ mereka dalam menghadapi hari demi hari.
Kami tidak pernah pulang. Anak-anak kami lah yang mengunjungi kami di hostel rumah sakit.
Setiap malam minggu, mereka menginap. Tapi sayang, karena usianya, mereka tidak diperkenankan berkunjung ke NICU.
Tidak dapat diutarakan dalam susunan kata bagaimana kami setiap hari menghadapi orang tua yang kehilangan bayinya karena tidak tertolong. Selalu saja apabila saya akan mendekati mereka yang baru saja kehilangan, saya selalu ditarik menjauh oleh suamiku. Rupanya suamiku tidak ingin aku terlarut dalam dengan suasana yang ada.

Bayiku RAKENDRA ZACHARY yang kami panggil dengan nama kecil KEN, selalu saja bersebelahan dengan Syifa. Setiap hari kami dan orang tua Syifa selalu saling bicara kepada bayi kami tentang rencana-rencana kami setelah keluar rumah sakit. Misalnya saja…..”Ken…jangan nangis….nanti Syifa bangun…kalau sudah sembuh nanti kita saling kunjung yaaa…cari sekolah ditempat yang sama yaaa….!” dan sebaliknya.Tiga minggu setelah di NICU, akhirnya berita gembira kami terima. Ken dan Syifa turun ke ruang Level 2. Artinya, apabila beberapa hari di level 2 tidak ada masalah, maka mereka bisa pindah ke Level 1 ( perawatan bayi biasa) sebelum diizinkan pulang.
Kami betul-betul excited dan sangat optimis untuk kesembuhan Ken. Apalagi kata suster, Ken selalu menangis keras yang berarti responnya baik. Di ruang level 2 ini jualah ada suster yang berbaik hati.
Ia bertanya : ” Bu....ibu belum pernah menggendong Ken ya? Ibu Mau??”.Tentu saja saya tidak menolak sambil ia mengingatkan untuk jangan berlama-lama karena Ken masih harus berada dibawa kotak oksigen.


Alhamdulillah Wasykurillah......akhirnya aku dapat menggendong bayi yang kulahirkan!
Alhamdulillah juga ku ucapkan, karena tidak seperti orang pada umumnya, setelah tiga minggu melahirkan, ternyata aku sudah bisa menjalani sholat.
Suatu malam saya lupa hari apa, tiba-tiba telepon di kamar hostel ku berdering. Saya dan suami diminta untuk mengunjungi ruang perawatan anak. Hatiku berdebar luar biasa! Benar! Ternyata bayiku dinyatakan kritis dan dikembalikan ke ruang NICU. 
Aku tak mampu menuliskan apa yang aku lihat saat itu, tapi aku tak kuasa menahan derai air mataku. Apalagi, saat aku masuk keruang NICU ada seorang ibu duduk dipojok disamping box ICU bayinya sambil terdiam seribu bahasa. Baru kuketahui beberapa saat setelah itu bahwa bayinya baru saja meninggal dunia. Vicky yang sudah seperti saudara padahal baru aku kenal di rumah sakit, menangis sejadi-jadinya dari kaca sebelah luar melihat aku dan suamiku menangis di dalam ruang NICU disamping Ken.Saat kupandang keluar, dari gerakkan mulutnya Vicky mengucapkan : ”mbak...! mbak....!” sambil terus menangis.
Aku tidak melihat Ade.

Harusnya pada saat itu ia sedang mempersiapkan ASI di botol untuk Syifa.


Dalam keadaan kritis, aku merasakan jariku yang kumasukkan dalam tanggan Ken tiba-tiba digenggam oleh Ken. Aku kaget luar biasa! Saat kutatap, Ken ternyata juga menatap mataku! Pandangan matanya penuh bak anak yang sudah besar.
SUBHANALLAH......tidak mungkin ini terjadi tanpa Kuasa Allah Subhana wata’alla.


Akupun kembali menangis sejadi-jadinya.
Kukatakan pada Ken : ” Ken....Mama ingin kamu pulang kerumah karena kakak-kakakmu menunggu....tapi kalau kamu tidak sanggup tidak apa Ken....Mama Ikhlas....betulllll mama ikhlas nakk...”
Esok harinya, ibuku datang dan memutuskan untuk ikut menginap.
Kami tidur bertiga dalam satu kamar. Malam itu kami tidak banyak bicara.


Dari saat magrib hingga Isya, suamiku tak bangkit dari sajadah sholatnya.

Aku lupa pukul berapa, tapi sudah menjelang subuh. Aku yang tidak bisa tidur segera menyusul ibuku untuk melaksanakan sholat . Aku sholat setelah ibuku selesai.
Dalam sholatku, aku berdoa: ”Ya Allah....berilah yang terbaik untuk kami. Engkau Maha Berkehendak. Kami ini bukan siapa-siapa. Kuserahkan segalanya padaMu Ya Allah....!”
Belum lama kulipat mukenaku, telepon kamar bedering. Suamiku meloncat dan menerima telepon itu. Aku sendiri tanpa bertanya, segera menuju lemari pakaian dan berusaha menggunakan pakaian yang pantas untuk keluar dari rumah sakit. Entah mengapa aku lakukan itu secara otomatis. Biasanya apabila mengunjungi Ken aku jarang membawa tas. Tapi saat itu kubawa semua keperluan yang harus aku bawa dalam tas tanganku.
ALLAH MAHA KUASA...ALLAH MAHA BERKEHENDAK!
Aku merasakan sesuatu. Aku berjalan tenang ke ruang perawatan di seberang hostel yang telah kudiami selama satu bulan ini. Suamiku sedikit berjalan cepat, tanpa bersuara.
Namun diwajahnya tampak kekhawatiran yang sangat-sangat mendalam.

Ya Allah....
Ternyata Ken ku telah pergi....berpulang ke Rahmatullah.....
Inna lillahi wa innailaihi raji’un... 

Tiada apapun yang dapat aku rasakan saat itu.
Kecil.....kecill...sekali diriku ini!
Sebagai hamba Allah, tidak satupun yang dapat kulakukan apabila Allah BerKehendak.(keterangan foto : saat kedua kali kupeluk anakku ..saat itu pulalah yang terakhir)
Angan-anganku...optimismeku....harapanku....
bahkan rencana-rencana matangku bagai tiada artinya.Aku boleh saja membeli perlengkapan bayi sesukaku, mempersiapkan kamar bayiku sesukaku. Namun...kala Allah BerKehendak lain??

Betapa sombongnya aku sebagai manusia.
Segala hal dapat kusiapkan untuk prioritas kesehatan Ken.
Apapun dapat dilakukan suamiku demi Ken.
Aku yakin, suamiku yakin atas kesembuhan Ken.
Namun.....kala Allah BerKehendak lain???


Bagai pohon yang tercabut diakarnya...
Mungkin seperti itulah perasaanku dan suamiku.
Aku....Suamiku sangat terpukul.
Namun kami ikhlas.Kami meyakini Allah telah mengatur ini untuk kebaikan kami semua.
Hanya atas bimbinganNya lah kami dapat melalui semua ini.
Apa yang telah terjadi justru lebih meng eratkan kami sekeluarga.
Aku, suamiku,....anak-anakku.
Dan tentu atas kehendak Allah pulalah saat ini Syifa teman sekamar Ken bersekolah di tempat aku menunaikan tugas sosial. Sebuah Yayasan Masjid yang memiliki sekolah di selatan Jakarta.
Syifa memanggilku Mama Nunny. Sering aku sekedar mengintip ke kelasnya dan melambaikan tangan saat aku berkunjung.
Saat ini Syifa sudah duduk dikelas 3 SD. Dan tanggal 6 September yang lalu usianya menginjak 8 tahun. Subhanallah!

Semoga apa yang aku tuliskan ini dapat menjadi renungan, bahwasanya Manusia boleh merencanakan, namun Allah lah yang mengatur.
Manusia boleh sombong, tapi Allah lah yang menentukan.
Hasbunallah wa nikmalwakiil
Nikmal maula wa nikmannasyir.......

-->

NUNNY HERSIANNA BUDIALENGGANA

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

1 comment:

  1. Mbak Nunny ...
    Tak terasa mata saya berkaca-kaca membaca cerita ini ...

    Manusia hanya berusaha ...
    ALLAH yang menentukan ...

    Semoga Ken bahagia disana ...

    Salam saya Mbak

    ReplyDelete

Thanks for your comment!